Review Campaign Battlefield 1 – Medan Perang yang Sedih
Sebelum review ini dimulai, izinkan kami untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada EA dan DICE yang telah membuat game perang sebaik Battlefield 1. Game yang membawa tema perang dunia 1 dan menunjukkan apa arti perang sesungguhnya. DICE menyajikan Battlefield 1 menggunakan rasa yang sama seperti seri sebelumnya, tetapi jauh lebih baik dari sisi pembawaan cerita. Battlefield 1 mengobati rasa pahit Battefield 2042 yang sampai sekarang belum menunjukkan tanda membaik. Mari kita mulai perjalanan review ini.
Nothing is Written
Battlefield 1 menyajikan cerita dari perang dunia 1 dengan sangat manis dan ironis. Kamu akan bermain dengan lima karakter berbeda di lima negara. Formula ini jarang bisa kamu alami karena sulit membuat alur cerita yang dapat menggaet simpati apabila memiliki waktu narasi singkat. Satu skenario memiliki playtime paling lama selama dua jam sehingga kami mengira sulit untuk dapat menikmati ceritanya. Namun, kami salah mengenai ini karena Battlefield 1 berhasil mengeksekusi narasi singkat ini secara emosional.
Skenario pertama mengambil cerita tentang seorang anak baru bernama Edward yang berperan sebagai sopir tank, Big Bess. Sebagai seorang yang tidak berpengalaman dalam perang, Edward sering kali kelabakan mengambil keputusan. Namun, Big Bess ada di sana bersama kru lainnya, membantu Edward tetap hidup selama misi berjalan. Lucunya, bukan Edward yang menjadi pusat cerita, Big Bess-lah yang membawa emosi kita bergerak dari marah, gembira, dan sedih. Sebuah tank, benda mati, dan bahkan tidak dapat mengungkapkan ekspresi mampu menarik simpatimu selama bermain di skenario kedua.
Selesai dengan Big Bess dan masih membawa duka dari Big Bess, kamu melanjutkan ke skenario berikutnya sebagai seorang pilot pembohong, pemabuk, dan penjudi. Perasaanmu jatuh dari seorang hero yang membawa Big Bess bertahan hingga titik akhir, ke “pecundang” yang kamu sendiri tak tahu, apakah cerita dari mulutnya hanya bualan atau kenyataan. Blackburn adalah nama pilot itu, ceritanya terlampau indah untuk pilot di perang dunia 1. Ia membawa temannya yang terluka berat sendirian sepanjang garis depan musuh tanpa mengalami luka sedikitpun, menerbangkan pesawat lalu tidak sengaja mengetahui base vital musuh, dan menyelamatkan London dari Zeppeline. Kenapa kamu bisa saja menganggap ia berbohong selama bermain? Bukannya kisah heroik seperti ini biasa di Battlefield 4? Untuk petunjuk jawabannya, kami kutip monolog penutup Blackburn sesaat setelah jatuh dari ratusan kilometer di atas sungai, “What you heard from me is the truth. I wouldn‘t tell you if it wasn‘t. Would I?”
Dua skenario pembuka Battlefield 1 ini indah. Kami bisa merasakan bagaimana karakter yang dimainkan dan karakter pendukung lainnya bertahan hidup selama perang dunia 1. Kamu sebagai pemain tidak akan merasa bahwa medan perang itu keren, apalagi ketika kamu masuk ke skenario keempat, yang membawamu bermain sebagai seorang tentara legendaris bernama Frederick Bishop. Ending skenario ini adalah yang terbaik selama kami mencicipi semua seri Battlefield. Kamu bukan seorang pahlawan, kamu hanya batu yang kebetulan menjadi pondasi jalan sejarah yang panjang.
Behind Every Gun Sight is a Human Being
Kami masih merasakan bagaimana bulu kuduk berdiri di setiap scene yang hadir di depan mata muncul. Battlefield 1 sukses menggunakan Frostbite, engine yang mereka gunakan dalam membuat game ini, untuk membawa deskripsi visual perang dunia 1 terbaik ke dalam mata. Secara linear, kamu dapat melihat bangunan yang hancur, sandbag pelindung pecah ketika terkena bom, dan kobaran api setelah ledakan terjadi. Tidak hanya dilihat, tetapi interaksi pada setiap objek dalam game dapat memengaruhi gameplay. Kamu harus dengan cepat mencari perlindungan lain ketika sandbag pelindung pecah atau melakukan konfontrasi agar health bar mu tidak cepat terkuras. Hati-hati dengan bangunan yang hancur saat kamu sedang berjalan karena dapat melukaimu. Jangan lupa juga di sini api dapat membakarmu, tidak hanya menjadi pajangan visual. Asap dan kabut bukan lewat saja, tetapi menjadi elemen penting dalam menentukan encounter.
Encounter merupakan cara pemain dalam menyelesaikan misi atau level di suatu game. Biasanya game FPS menyediakan pilihan brutal atau linear stealth, jadi kamu tidak bisa memilih stealth apabila tidak “disuruh” oleh game. Namun, Battlefield 1 memberikan encounter dengan stealth yang tidak hanya “disuruh”. Kamu harus memikirkan dengan matang apabila melakukan stealth. Perhatikan pergerakan musuh dan terrain yang ada di depanmu karena sniper tidak bisa menjadi pilihan utama ketika melakukan stealth. Pantulan cahaya ketika kamu menggunakan scope akan dengan mudah membuat musuh mengetahui posisimu. Silencer juga tidak bisa menjadi pilihan baik mengingat kita berada di perang dunia 1 di mana teknologi peredam suara belum sebaik masa modern. Sulit memang, apalagi dengan keterbatasan peluru dan AI yang cukup cerdas maka stealth menjadi pilihan terbaik di beberapa level. Namun, kenikmatan stealth di Battlefield 1 menjadi alasan kalau cara ini memang cara terbaik dalam menyelesaikan campaign, kami bisa menjamin itu.
Lemme Tell You… It Was No Adventure…
Battlefield 1 menyajikan suasana perang sesungguhnya. Tidak seperti game lainnya yang terasa lebih adventure, game ini memberikan pengalaman bermain yang membuatmu berpikir ulang kalau tidak ada perang yang baik. Semua perang terlihat sama karena dari lima skenario yang disediakan, kesimpulannya hanya satu, perang hanya sebuah skenario yang memuakkan. Rasanya perang seperti teater Shakespeare yang tidak ada kejelasan antara baik dan jahat. Di satu tempat, ratusan ribu manusia yang tak saling kenal bergumul, saling siku, kemudian mati begitu saja. Terkadang kita akan bertanya selama bermain, apakah semua ini ada ujungnya? atau setidaknya tunjukkan apa baiknya dari perjalanan ini?
Sayangnya Battlefield 1 terasa hambar pada pembuka dan penutupnya. Pada saat pertama kali membuka Battlefield 1, kamu langsung dibawa ke dalam skenario 0 tanpa konteks. Bukannya membawa pembukaan yang lebih akrab untuk pemain yang belum pernah memegang seri Battlefield, DICE memilih langsung memasukkan unsur “Battlefield” tanpa pengenalan. Setidaknya kita jadi tahu kalau Battlefield 1 memang eksperimen dari DICE untuk mencari formulai narasi cerita dan presentasi visual, meskipun malah gagal di game terbaru mereka yaitu Battlefield 2042. Skenario terakhir juga lebih terasa unsur Hollywood seperti Call of Duty jika dibandingkan dengan skenario lainnya. DICE seperti ingin menyajikan nuansa heroik pada karakter yang dimainkan, tetapi sulit merasakannya karena premis dengan tema balas dendam yang dibawa terlalu klise.
DICE juga tidak berhasil melakukan transisi mulus ketika perpindahan antara cutscene dan gameplay. Battlefield 4 malah terasa lebih halus dalam segi transisi ini. Battlefield 1 juga mengulang kelemahan Battlefield 4 dengan AI teman yang buruk. Kamu bisa membaca review Battlefield 4 untuk mengetahui seberapa buruk AI teman di sana dan DICE mengulangnya kembali di Battlefield 1. Ayolah DICE, kamu sendiri yang bilang kita hanya manusia bukan?
Jadi, Bagaimana Battlefield 1 di Tahun 2022?
Kami merekomendasikan Battlefield 1 untuk menjadi pilihan revisit-mu. Kamu bisa mengulang kembali setiap skenarionya menggunakan encounter yang berbeda. Untuk yang belum pernah bermain Battlefield 1 atau bahkan sama sekali belum pernah memegang seri Battlefield, kami merekomendasikan game FPS satu ini sebagai teman rehatmu. Pilih level easy, ambil indomie, dan seduh kopi maka kamu seperti menonton film blockbuster dengan kamu sebagai pemainnya. Kamu tidak akan menyesal menyisakan satu atau dua jam dalam menjalankan satu skenario karena pengalaman yang didapatkan sungguh indah.
Berdasarkan SteamCharts, Battefield 1 memiliki rata-rata pemain aktif selama 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal artikel ini ditulis sebesar 4.212 pemain. Ingin tahu jumlah rata-rata pemain aktif Battlefield 2042 dalam rentang waktu yang sama? 2.142 pemain. Ini menjadikan Battlefield 2042 yang merupakan game terbaru lebih baik dari Battlefield 1 yang rilis 5 (lima) tahun lalu. Viva game lawas!
Kenapa Harus Revisit?
- Narasi cerita yang bagus
- Gameplay tidak membosankan
- Visual cantik dan realistis
- Pengalaman bermain yang tidak terlupakan
Kenapa Tidak Perlu Revisit?
- Transisi yang buruk
- Pembukaan dan penutup tidak menarik
- Terlalu Hollywood
Baik untuk: Gamer yang ingin mendapatkan pengalaman bermain game FPS dengan penggambaran suasana perang serealistis mungkin.
Tidak baik untuk: Gamer yang mencari game FPS dengan banyak aksi.
Spesifikasi yang Kami Gunakan?
- Prosesor: AMD Ryzen 5 2400G @3.6GHz with Radeon RX Vega 11 Graphics
- Motherboard: MSI B450M Pro—M2 V2
- Memory: 2x 8GB Teamgroup Zeus DDR4 (@3200 MHz; 1.2 V)
- Power Supply: Infinity Striker Power
- CPU Heatsink: Wraith Cooler (Fan Speed Minimum)
- Casing: Dazumba (All Fan On)
- Monitor: LED Monitor 1360×768
- Input: Generic Keyboard and Mouse
- OS: Windows 11 Pro 64-bit 21H2
Endeavor undertaken to create a good job..👍
Pingback: Resident Evil 4 Remake Kok Jelek? Masak Sih! - Bumpymed